____
“Buntu! Bingung mau nulis apa!”
Wah, kalau kalimat itu diungkapkan oleh para penulis, benar-benar
masalah besar.
Jika diibaratkan penulis adalah seorang tentara, maka
kata-kata adalah senjatanya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika
tentara kehilangan senjata? Dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk
menjalankan tugasnya. Heuheu.
Pernah mengalami?
Saya pernah. Sering bahkan :(
Dulu, kalau saya terserang “penyakit” ini, ya sudah … saya
berhenti dulu menulis. Percuma saja memaksakan diri. Tapi, bagaimana kalau
tulisan itu harus segera selesai dalam jangka waktu tertentu. Ada tenggat waktu
yang ketat. Saya harus benar-benar “memaksa” otak, menelisik kata yang sedang
bersembunyi, entah di mana.
Salah satu yang biasanya saya lakukan ketika mengalami
kebuntuan itu adalah membaca. Membaca apa saja. Saya mengambil salah satu buku
di rak buku, secara acak. Lalu membuka halaman-halamannya secara acak juga.
Halaman berapa pun yang terbuka, halaman itulah yang harus saya baca.
Dan … keajaiban terjadi.
Saat itu, saya baru saja akan memulai menulis novel “Wanita
di Lautan Sunyi.” Plot dan alur sudah saya susun rapi. Begitu juga karakter
tokoh, setting, konflik dan seterusnya. Semua unsur intrinsik yang harus ada
dalam sebuah novel sudah saya rancang. Tapi … saya belum bisa menulis juga.
Bingung, mau mulai dari mana? Kalimat apa yang harus saya tuliskan sebagai
pembuka? *garuk-garuk kepala*
Secara acak, tangan saya mengambil sebuah buku bersampul
hitam, judulnya “Atlas Sejarah Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin.”
Kebetulan, tangan saya memang menjangkau bagian rak buku yang berisi buku-buku
sejarah semuanya. Saya kaget juga, kenapa buku ini yang saya ambil? Apa
hubungannya antara novel yang akan saya tulis dengan sejarah? Tapi, ya … saya
memang enggak boleh milih. Aturan itu kan saya sendiri yang membuat. :p
Cover buku Atlas Sejarah dan Novel saya "Wanita di Lautan Sunyi"
Saya buka halamannya secara acak, dan terbukalah halaman
36-37. Saya baca terus, hingga sampai di
paragraf kedua, halaman 37. Di sana tertulis sebuah peribahasa Arab yang
berbunyi:
“Inkunta riihan faqad
laa qaita i`shaaran.”
“Jika dirimu adalah angin, boleh jadi engkau akan bertemu
badai.”
Ini isi halaman 37, paragraf ke-2.
Dzing! #$%
Seolah-olah ada embusan angin yang meniup tengkuk saya. Saya
merinding. Memori akan Sangkulirang yang berada di tepi laut membayang cepat.
*FYI, Sangkulirang adalah tempat yang saya jadikan setting novel “Wanita di
Lautan Sunyi.*
Otak saya sepertinya langsung bekerja cepat, berbagai peristiwa
di dalam calon novel saya membayang-bayang di depan mata. Sang tokoh akan
mengalami ini dan itu. Lalu si ini begitu, dan seterusnya.
Gegas saya duduk di meja kerja dan membuka laptop. Saya
sudah menemukan “AHA!” saya.
Harus segera ditulis, sebelum kilatan-kilatan itu padam dan
saya kehilangan. Alhamdulillah, kalimat pembuka sudah saya dapatkan dan Allah
membuat jemari saya lancar menari di atas tombol-tombol huruf di laptop.
Apakah ini kebetulan? Izinkan saya memaknai ini sebagai
bentuk pertolongan Allah. Ilham dan petunjuk-Nya. Saya yakin, tak ada yang
kebetulan di dunia.
Peribahasa Arab tadi saya jadikan pembuka di bab satu |
Apakah saya pernah “gagal”? Tetap mengalami kebuntuan
menulis padahal sudah melakukan cara ini? Mengambil buku, membuka halaman
secara acak, lalu membacanya. Tetapi, “AHA!” itu tidak juga saya temukan. Oh,
pernah juga. Pernah. Tetapi, setidak-tidaknya saya tetap dapat pengetahuan baru
dari apa yang saya baca. Jadi, tetap tak ada yang sia-sia, kan. Teuteup, hahaha
;)
Ah, kalau penasaran. Ayo dicoba saja. Siapa tahu teman-teman
juga bisa merasakan “sensasi indah” ketika menemukan “AHA!” ini. Masya Allah. Merinding
disko, ruar biasa!
"Wanita di Lautan Sunyi"
Penerbit: Quanta-imprint Elex Media Komputindo
Harga: Rp54.800
Beredar April 2014
Beli ya ;)
______________
sumber : http://nurulasmayani.blogspot.com/2014/04/ketika-kata-berlarian.html
0 komentar:
Posting Komentar